BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kesehatan
merupakan hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keberhasilan
pembangunan bangsa. Kesehatan juga merupakan salah satu unsur dari
kesejahteraan umum yang merupakan tujuan negara seperti yang diamanahkan di
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
tahun 1945. Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 pasal 4 dan 5 juga
menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas
sumberdaya di bidang kesehatan, hak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu dan terjangkau dan setiap orang berhak secara mandiri dan
bertanggungjawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi
dirinya.
Untuk
itu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara menyeluruh agar terwujud
derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2011). Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka terjadi perubahan
dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan termasuk dalam bidang kesehatan.
Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengembangkan sistem kesehatan di
daerah sesuaidengan kebutuhan masyarakatnya. Namun urusan pemerintahan di
bidang kesehatan tetap merupakan urusan bersama (concurrent function) antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan DaerahKabupaten atau Kota
(Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Kesehatan, 2011).
Pembangunan
kesehatan yang telah dilaksanakan selama ini telahberhasil meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya indikator pembangunan
kesehatan. Tahun ini pembangunan kesehatan sedang berada di tengah periode
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan
beberapa masalah, yaitu:
1. Menjelaskan
pengertian kebijakan
2. Menjelaskan perumusan masalah kebijakan
3. Menjelaskan Visi dan Misi pembangunan kesehatan
4. Menjelaskan kebijakan
nasional tentang upaya kesehatan masyarakat
5. Menjelaskan peranan masyarakat dalam pembangunan kesehatan
6. Menjelaskan strategi pembangunan kesehatan
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Mahasiswa dapat
mengetahui defenisi kebijakan
2. Mahasiswa dapat
mengetahui perumusan masalah kebijakan
3. Mahasiswa dapat
mengetahui Visi dan Misi pembangunan kesehatan
4. Mahasiswa dapat
mengetahui kebijakan nasional tentang upaya kesehatan masyarakat
5. Mahasiswa dapat
mengetahui peranan masyarakat dalam pembangunan kesehatan
6. Mahasiswa dapat
mengetahui strategi pembangunan kesehatan
D. METODE PENULISAN
Adapun metode penulisan yang digunakan dalam menyusun tugas ini adalah
menggunakan metode deskriptif:
a. Studi kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan data membaca dan
mempelajari buku yang berkaitan dengan makalah ini.
b. Diskusi kelompok.
c. Searching internet.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I : PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
B.
Tujuan
penulisan
C.
Metode
penulisan
D.
Sistematika
penulisan
BAB II
: PEMBAHASAN
A. Defenisi Kebijakan
B. Perumusan Masalah
Kebijakan
C. Visi Dan Misi
Pembangunan Kesehatan
D. Kebijakan nasional
tentang upaya kesehatan masyarakat
E. Masyarakat Dalam
Pembangunan Kesehatan
F. Strategi Pembangunan
Kesehatan
G. Kebijakan
Prioritas
BAB III : PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
Daftar
Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFENISI KEBIJAKAN
Banyak
defenisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan. Thomas
Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilhan pemerintah untuk melakkan atau tidak
melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not to do). Friedrich
mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu kebijakan adalah adanya tujuan (goal), sasaran (objective)
atau kehendak (purpose) ( Abidin,2002
).
Defenisi
kebijakan public dari Thomas Dye tersebut mengandung makna bahwa :
a. Kebijakan public tersebut dibuat oleh
badan pemerintah.
b. Kebijakan public menyangkut pilihan
yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah (abidin, 2002).
Menurut Dunn proses kebijakan public
terdiri dari lima tahapan yaitu sebagai berikut :
a. Penyusunan agenda ( agenda seting ), yakni
suatu proses agar suatu masalah bias mendapat perhatian dari pemerintah.
b. Formulasi kebijakan ( policy formulation ), yakni suatu proses
perumusan pilihan-pilihan atau alternative pemecahan masalah oleh pemerintah.
c. Penentuan kebijakan ( policy adoption
), yakni suatu proses dimana pemerintah menetapka alternative kebijakan apakah
sesuai dengan criteria yang harus dipenuhi, menentukan siapa pelaksana
kebijakan tersebut, dan bagaimana proses atau strategi pelaksanaan kebijakan
tersebut.
d. Implementasi kebijakan ( policy
implementation ) , yaitu suatu proses untuk melaksanakan kebijakan supaya
mencapai hasil, pada tahap ini perlu adanya dukungan sumberdaya dan penyusunan
organisasi pelaksana kebijakan.
e. Evluasi kebijakan ( policy evaluation)
, yakni suatu roses untuk memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan (
Subarsono, 2005 )
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan
suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan
pada pemerintahan, organisasi dan
kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum yang
mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi pedoman
tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan.
Pengertian
kebijakan pemerintah pada prinsipnya dibuat atas dasar kebijakan yang bersifat
luas. Menurut Werf (1997) yang dimaksud dengan kebijakan adalah usaha mencapai
tujuan tertentu dengan sasaran tertentu dan dalam urutan tertentu. Sedangkan
kebijakan pemerintah mempunyai pengertian baku yaitu suatu keputusan yang
dibuat secara sistematik oleh pemerintah dengan maksud dan tujuan tertentu yang
menyangkut kepentingan umum.Sesuai dengan system administrasi Negara Republik
Indonesia, kebijakan dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1.
Kebijakan Internal (Manajerial),
yaitu kebijakan yang mempunyai kekuatan mengikat aparatur dalam organisasi
pemerintah sendiri
2.
Kebijakan eksternal (Publik), yaitu
suatu kebijakan yang mengikat masyarakat umum, sehingga dengan kebijakan
demikian kebijakan harus tertulis.
Pengertian
kebijakan pemerintah sama dengan kebijaksanaan berbagai bentuk seperti misalnya
jika dilakukan oleh Pemerintah Pusat berupa Peraturan Pemerintah (PP),
Keputusan Menteri (KepMen) dan lain lain. Sedangkan jika kebijakan pemerintah
tersebut dibuat oleh pemerintah daerah akan melahirkan Surat keputusan (SK),
peraturan daerah (PerDa) dan lain lain.
Dalam
penyusunan kebijaksanaa/kebijakan mengacu pada hal hal berikut:
1.
Berpedoman pada kebijaksanaan yang
lebih tinggi.
2.
Konsisten dengan kebijaksanaan yang
lain yang berlaku.
3.
Berorientasi ke masa depan.
4.
Berpedoman kepada kepentingan umum
5.
Jelas dan tepat serta transparan
6.
Dirumuskan secara tertulis.
Sedangkan
kebijakan atau kebijaksanaan pemerintah mempunyai beberapa tingkatan yaitu:
1.
Kebijakan Nasional
Yaitu kebijakan Negara yang bersifat
fundamental dan strategis untuk mencapai tujuan nasional/Negara sesuai dengan
amanat UUD 1945 GBHN. Kewenangan dalam pembuat kebijaksanaan adalah MPR, dan
presiden bersama-sama dengan DPR.Bentuk kebijaksanaan nasional yang dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa:
a.
UUD 1945
b.
Ketetapan MPR
c.
Undang-undang
d.
Peraturan pemerintah pengganti
undang undang (Perpu) dibuat oleh presiden dalan hal kepentingan memaksa
setelah mendapat persetujuan DPR.
2.
Kebijaksanaan Umum
Kebijaksanaan yang dilakukan oleh
presiden yang bersifat nasional dan menyeluruh berupa penggarisan ketentuan
ketentuan yang bersifat garis besar dalam rangka pelaksanaan tugas umum
pemerintahan dan pembangunan sebagai pelaksanaan UUD 1945, ketetapan MPR maupun
undang undang guna mencapai tujuan nasional.
Penetapan kebijaksanaan umum
merupakan sepenuhnya kewenangan presiden, sedangkan bentuk kebijaksanaan umum
tersebut adalah tertulis berupa peraturan perundang-undangan seperti hal nya
peraturan pemerintah (PP), keputusan presiden (Kepres) serta Instruksi Presiden
(Inpres).
Sedangkan kebijaksanaan pelaksanaan
dari kebijakan umum tersebut merupakan penjabaran dari kebijakan umum serta
strategi pelaksanaan dalam suatu bidang tugas umum pemerintahan dan pembangunan
dibidang tertentu. Penetapan kebijaksanaan pelaksanaan terletak pada para
pembantu presiden yaitu para menteri atau pejabat lain setingkat dengan menteri
dan pimpinan sesuai dengan kebijaksanaan pada tinkat atasnya serta perundang-undangan
berupa peraturan, keputusan atau instruksi pejabat tersebut (menteri/pejabat)
B. PERUMUSAN MASALAH KEBIJAKAN
Masalah
kebijakan, adalah nilai, kebutuhan atau kesempatan yang belum terpenuhi, tetapi
dapat diindentifikasikan dan dicapai melalui tindakan publik. Tingkat kepelikan
masalah tergantung pada nilai dan kebutuhan apa yang dipandang paling
panting.Staf puskesmas yang kuat orientasi materialnya (gaji tidak memenuhi
kebutuhan), cenderung memandang aspek imbalan dari puskesmas sebagai masalah mandasar
dari pada orang yang punya komitmen pada kualitas pelayanan kesehatan.
Menurut
Dunn (1988) beberapa karakteristik masalah pokok dari masalah kebijakan,
adalah:
1.
Interdepensi (saling tergantung),
yaitu kebijakan suatu bidang (energi) seringkali mempengaruhi masalah kebijakan
lainnya (pelayanan kesehatan). Kondisi ini menunjukkan adanya sistem masalah.
Sistem masalah ini membutuhkan pendekatan Holistik, satu masalah dengan yang
lain tidak dapat di piahkan dan diukur sendirian.
2.
Subjektif, yaitu kondisi eksternal
yang menimbulkan masalah diindentifikasi, diklasifikasi dan dievaluasi secara
selektif. Contoh: Populasi udara secara objektif dapat diukur (data). Data ini
menimbulkan penafsiran yang beragam (a.l. gang-guan kesehatan, lingkungan,
iklim, dll). Muncul situasi problematis, bukan problem itu sendiri.
3.
Artifisial, yaitu pada saat
diperlukan perubahan situasi problematis, sehingga dapat menimbulkan masalah
kebijakan.
4.
Dinamis, yaitu masalah dan
pemecahannya berada pada suasana perubahan yang terus menerus. Pemecahan
masalah justru dapat memunculkan masalah baru, yang membutuhkan pemecahan
masalah lanjutan.
5.
Tidak terduga, yaitu masalah yang
muncul di luar jangkauan kebijakan dan sistem masalah kebijakan.
C. VISI DAN MISI PEMBANGUNAN KESEHATAN
1. Visi Strategis Pembangunan Kesehatan
Dengan memperhatikan isu strategis pembangunan kesehatan
tersebut dan juga dengan mempertimbangkan perkembangan, masalah, serta berbagai
kecenderungan pembangunan kesehatan ke depan maka ditetapkan visi pembangunan
kesehatan oleh Departemen Kesehatan yaitu Masyarakat Yang Mandiri Untuk Hidup
Sehat.
Masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat adalah suatu
kondisi di mana masyarakat Indonesia menyadari, mau, dan mampu untuk mengenali,
mencegah dan mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi, sehingga dapat
bebas dari gangguan kesehatan, baik yang disebabkan karena penyakit termasuk
gangguan kesehatan akibat bencana, maupun lingkungan dan perilaku yang tidak
mendukung untuk hidup sehat.
2. Misi Strategis Pembangunan Kesehatan
Visi pembangunan kesehatan tersebut kemudian diejawantahkan
melalui misi pembangunan kesehatan, yakni Membuat Rakyat Sehat. Misi kesehatan
ini kemudian dijalankan dengan mengembangkan nilai-nilai dasar dalam pelayanan kesehatan
yaitu berpihak pada rakyat, bertindak cepat dan tepat, kerjasama tim,
integritas yang tinggi, transparansi dan akuntabilitas.
D.
KEBIJAKAN
NASIONAL TENTANG UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT
Kebijakan kesehatan
merupakan tindakan yang mempunyai efek terhadap institusi,organisasi pelayanan
dan pendanaan dari system pelayanan kesehatan. Kebijakan palayanan kesehatan
meliputi:
1.
Public goods
Berupa barang atau jasa yang pedanaanya berasal dari pemerintah, yang bersumber
dari pajak dan kelompok masyarakat. Layanan public goods digunakan untuk
kepentingan bersama dn dimiliki bersama. Keberadaanya memiliki pengaruh
terhadap masyarakat.
2.
Privat goods
Berupa barang atau jasa swasta yang pedanaanya berasal dari perseorangan.
Digunakan untuk kepentingan sendiri dan dimiliki perseorangan , tidak bisa
dimiliki sembarangan orang, terdapat persaingan dan eksternalitas rendah.
3.
Merit goods
Karakteristik memerlukan biaya tambahan tidak dapat digunakan sembarangan orang
ada persaingan dan eksternalitas tinggi contohnya cuci darah, pelayanan
kehamilan, pelayanan kespro dan pengobatan PMS.
Indonesia termasuk negara berkembang sangat rentan terhadap berbagai macam
penyakit. Hal ini tersebab karena kondisi riil masyarakat Indonesia yang miskin
dan memiliki standart hidup (gisi) rendah. Kemiskinan ( gisi buruk) menjadi
kandungan yang siap setiap saat melahirkan penyakit. Karena itu tidak
mengejutkan kalau penyakit –penyakit menyerang masyarakat meningkat jumlahnya
setiap tahun seiring meningkatkan jumlah angka kemiskinan.
E. PERANAN MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN KESEHATAN
Menurut
Notoatmodjo (2007), peran serta atau partisipasi masyarakat adalah ikut
sertanya seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan permasalahan-permasalahan
masyarakat tersebut. Peran serta dibidang kesehatan berarti keikutsertaan
seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri.
Hal ini masyarakat sendirilah yang aktif memikirkan, memecahkan, melaksanakan
dan mengevaluasikan program-program kesehatan. Institusi kesehatan hanya
sekedar memotivasi dan membimbingnya. Peran serta setiap anggota masyarakat
dituntut suatu kontibusi atau sumbangan. Kontribusi tersebut bukan hanya
terbatas pada dana dan finansial saja tetapi dapat terbentuk dalam tenaga
(daya) dan pemikiran (ide). Dalam hal ini dapat diwujudkan dalam 4M yakni,
manpower (tenaga), money (uang), material (benda-benda) dan mind (ide atau
gagasan).
1.
Dasar-dasar
filosofi peran serta masyarakat
Hubungannya dengan fasilitas dan tenaga kesehatan, peran
serta masyarakat dapat diarahkan untuk mencukupi kelangkaan tersebut. Dengan
kata lain peran serta masyarakat dapat menciptakan fasilitas dan tenaga
kesehatan. Peran serta masyarakat didasarkan pada idealisme berikut :
a.
Community fell need
b.
Organisasi pelayanan masyarakat
kesehatan yang berdasarkan peran serta masyarakat.
c.
Pelayanan kesehatan tersebut akan
dikerjakan oleh masyarakat sendiri
2.
Metode
peran serta masyarakat
a.
Peran serta dengan paksaan
Artinya memaksa masyarakat untuk
kontribusi dalam suatu program, baik melalui perundang-ungdangan,
peraturan-perturan maupun dengan perintah lisan saja. Cara ini akan lebih cepat
hasilnya dan mudah, tetapi masyarakat akan takut, merasa dipaksa dan kaget
karena dasarnya bukan kesadaran tetapi ketakutan. Akibatnya masyarakat tidak
akan mempunyai rasa memiliki terhadap program yang ada.
b.
Peran serta dengan persuasi dan
edukasi
Artinya suatu parisipasi yang
didasari pada kesadaran. Sukar tetapi bila tercapai hasilnya akan mempunyai
rasa memiliki dan rasa memelihara. Partisipasi ini dimulai dengan penerangan,
pendidikan dan sebagainya baik secara langsung maupun tidak langsung.
3. Elemen-elemen peran serta masyarakat
a.
Motivasi
Persyaratan utama masyarakat
berpartisipasi adalah motivasi. Tanpa motivasi masyarakat sulit berpartisipasi
disegala program. Timbulnya motivasi harus dari masyarakat itu sendiri dan
pihak luarnya hanya meragsang saja. Untuk itu pendidikan kesehatan sangat
diperlukan dalam rangka merangsang tumbuhnya motivasi.
b.
Komunikasi
Suatu komunikasi yang baik adalah
yang dapat menyampaikan pesan, ide dan informasi kepada masyarakat. Media masa,
seperti TV, radio, poster, film dan sebagainya. Semua itu sangat efektif untuk
manyampaikan pesan yang akirnya dapat menimbulkan partisipasi.
c.
Kooperasi
Kerja sama dengan instansi-instansi
di luar kesehatan masyarakat dan instansi kesehatan sendiri adalah mutlak
diperlukan. Adanya team work antara mereka ini akan membantu menumbuhkan
partisipasi.
d.
Mobilisasi
Hal ini berarti bahwa peran serta
itu bukan hanya terbatas pada tahap pelaksanaan program. Partipasi masyarakat
dapat dimulai seawal mungkin sampai ke akhir mungkin, dari identifikasi masalah,
menentukan prioritas masalah, perencanaan program, pelaksanaan sampai dengan
monitoring dan evaluasi program.
4. Strategi peran serta masyarakat
Strategi peran serta menurut Notoatmojo (2007) yang dapat
dipakai adalah sebagai berikut:
a.
Pendekatan masyarakat, diperlukan
untuk memperoleh simpati masyarakat. Pendekatan ini terutama ditunjukan kepada
pimpinan masyarakat, baik yang formal maupun informal.
b.
Pengorganisasian masyarakat dan
pembentukan tim
1)
Dikoordinasikan oleh lurah atau
kepala desa.
2)
Tim kerja yang dibentuk tiap RT,
anggota tim adalah pemuka masyrakat RT yang bersangkutan dan pimpinan oleh
ketua RT.
c.
Survei diri
Tiap tim kerja
di RT melakukan survei di masyrakatnya masing-masing dan diolah serta
dipresentasikan kepada warganya.
d.
Perencanaan program
Perencanaan
dilakukan oleh masyarakat sendiri setelah mendengarkan presentasi survei diri
dari tim kerja, serta telah menentukan bersama tentang prioritas masalah akan
dipecahkan. Merencanakan program ini perlu diarahkan terbentuknya dana sehat
dan kader kesehatan. kedua hal ini merupakan sangat penting dalam rangka
pengembangan peran serta masyarakat. Dana sehat tersebut selain dari bentuk
peran serta masyarakat, juga merupakan motor penggerak program.
e.
Training (Pelatihan)
Training para
kader harus dipimpin oleh dokter puskesmas meliputi medis dan manajemen
kecil-kecilan dalam mengolah program-program kesehatan tingkat desa serta
pencatatan, pelaporan, dan rujukan.
f.
Rencana evaluasi
Menyusun
rencana evaluasi perlu ditetapkan kriteria keberhasilan suatu program, secara
sederhana dan mudah dilakukan oleh masyrakat atau kader itu sendiri
(Notoatmojo, 2007).
5.
Faktor
Yang Mempengaruhi Peranserta Masyarakat
a.
Manfaat kegiatan yang dilakukan.
Jika kegiatan
yang dilakukan memberikan manfaat yang nyata dan jelas bagi masyarakat maka
kesediaan masyarakat untuk berperanserta menjadi lebih besar.
b.
Adanya kesempatan.
Kesediaan juga
dipengaruhi oleh adanya kesempatan atau ajakan untuk berperanserta dan
masyarakat melihat memang ada hal-hal yang berguna dalam kegiatan yang akan
dilakukan.
c.
Memiliki ketrampilan.
Jika kegiatan
yang dilaksanakan membutuhkan ketrampilan tertentu dan orang yang mempunyai
ketrampilan sesuai dengan ketrampilan tersebut maka orang tertarik untuk
berperanserta.
d.
Rasa Memiliki.
Rasa memiliki
suatu akan tumbuh jika sejak awal kegiatan masyarakat sudah diikut sertakan,
jika rasa memiliki ini bisa ditumbuh kembangkan dengan baik maka peranserta
akan dapat dilestarikan.
e.
Faktor tokoh masyarakat.
Jika dalam
kegiatan yang diselenggarakan masyarakat melihat bahwa tokoh - tokoh masyarakat
atau pemimpin kader yang disegani ikut serta maka mereka akan tertarik pula
berperanserta.
6.
Peran
Kader Masyarakat sebagai Wujud Peran Serta
Kader Posyandu adalah warga
masyarakat yang terlibat dalam dalam seksi 7 dan seksi 10 LKMD (Tim penggerak
PKK) yang tergabung dalam Pokja IV yang membidangi masalah kesehatan dan KB dan
aktif dalam kegiatan Posyandu. Kader gizi adalah anggota masyarakat yang
bekerja secara sukarela dan mampu melaksanakan upaya peningkatan gizi keluarga (UPGK)
serta mampu menggerakkan masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan UPGK.
7.
Peranan
Kader dalam penyelenggaraan Posyandu
a.
Memberitahukan hari dan jam buka
Posyandu kepada para ibu pengguna Posyandu (ibu hamil, ibu yang mempunyai bayi
dan anak balita serta ibu usia subur) sebelum hari buka Posyandu.
b.
Menyiapkan peralatan untuk
penyelenggaraan Posyandu sebelum Posyandu dimulai seperti timbangan, buku
catatan, KMS, alat peraga penyuluhan dll.
c.
Melakukan pendaftaran bayi, balita,
ibu hamil dan ibu usia subur yang hadir di Posyandu.
d.
Melakukan penimbangan bayi dan
balita.
e.
Mencatat hasil penimbangan kedalam
KMS
f.
Melakukan penyuluhan perorangan
kepada ibu-ibu di meja IV, dengan isi penyuluhan sesuai dengan permasalahan
yang dihadapi ibu yang bersangkutan.
g.
Melakukan penyuluhan kelompok kepada
ibu-ibu sebelum meja I atau setelah meja V (kalau diperlukan).
h.
Melakukan kunjungan rumah khususnya
pada ibu hamil, ibu yang mempunyai bayi dan balita serta pasangan usia subur,
untuk menyuluh dan mengingatkan agar datang ke Posyandu.
F. STRATEGI PEMBANGUNAN KESEHATAN
Pembangunan kesehatan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang
diupayakan oleh pemerintah. Dalam melaksanakan pembangunan kesehatan di tengah
beban dan permasalahan kesehatan yang semakin pelik, dibutuhkan strategi jitu
untuk menghadapinya. Dalam mengatasi masalah kesehatan, Departemen Kesehatan
memilki lima strategi utama. Hal tersebut mengemuka dalam pidato Menteri
Kesehatan pada upacara bendera pada tanggal 17 Januari 2006.
Menteri Kesehatan
mengatakan bahwa kunci sukses dalam pembangunan kesehatan ke depan, sangat
ditentukan oleh adanya komitmen politis dari semua pihak, baik dari lingkungan
eksekutif, legislatif, maupun dari masyarakat termasuk swasta. Kunci sukses
lainnya ditengah keterbatasan sumber daya dalam hal pembiayaan dan tenaga
adalah memprioritaskan bidang-bidang pembangunan kesehatan, seperti Kesehatan
Ibu dan Anak. Oleh karena itu, Depkes akan menempuh 4 strategi utama, yaitu :
1. Menggerakkan
dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat.
Sasaran utama strategi ini adalah seluruh desa menjadi desa siaga, seluruh masyarakat berperilaku hidup bersih dan sehat serta seluruh keluarga sadar gizi.
Sasaran utama strategi ini adalah seluruh desa menjadi desa siaga, seluruh masyarakat berperilaku hidup bersih dan sehat serta seluruh keluarga sadar gizi.
2. Meningkatkan
akses masyarakat tehadap pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Sasaran utama strategi ini adalah ; Setiap orang miskin mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu; setipa bayi, anak, dan kelompok masyarakat risiko tinggi terlindungi dari penyakit; di setiap desa tersedia SDM kesehatan yang kompeten; di setiap desa tersedia cukup obat esensial dan alat kesehatan dasar; setiap Puskesmas dan jaringannya dapat menjangkau dan dijangkau seluruh masyarakat di wilayah kerjanya; pelayanan kesehatan di setiap rumah sakit, Puskesmas dan jaringannya memenuhi standar mutu.
Sasaran utama strategi ini adalah ; Setiap orang miskin mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu; setipa bayi, anak, dan kelompok masyarakat risiko tinggi terlindungi dari penyakit; di setiap desa tersedia SDM kesehatan yang kompeten; di setiap desa tersedia cukup obat esensial dan alat kesehatan dasar; setiap Puskesmas dan jaringannya dapat menjangkau dan dijangkau seluruh masyarakat di wilayah kerjanya; pelayanan kesehatan di setiap rumah sakit, Puskesmas dan jaringannya memenuhi standar mutu.
3. Meningkatkan
sistem surveillans, monitoring dan informasi kesehatan.
Sasaran utama dari strategi ini adalah : setiap kejadian penyakit terlaporkan secara cepat kepada desa/lurah untuk kemudian diteruskan ke instansi kesehatan terdekat; setiap kejadian luar biasa (KLB) dan wabah penyakit tertanggulangi secara cepat dan tepat sehingga tidak menimbulkan dampak kesehatan masyarakat; semua ketersediaan farmasi, makanan dan perbekalan kesehatan memenuhi syarat; terkendalinya pencemaran lingkungan sesuai dengan standar kesehatan; dan berfungsinya sistem informasi kesehatan yang evidence based di seluruh Indonesia.
Sasaran utama dari strategi ini adalah : setiap kejadian penyakit terlaporkan secara cepat kepada desa/lurah untuk kemudian diteruskan ke instansi kesehatan terdekat; setiap kejadian luar biasa (KLB) dan wabah penyakit tertanggulangi secara cepat dan tepat sehingga tidak menimbulkan dampak kesehatan masyarakat; semua ketersediaan farmasi, makanan dan perbekalan kesehatan memenuhi syarat; terkendalinya pencemaran lingkungan sesuai dengan standar kesehatan; dan berfungsinya sistem informasi kesehatan yang evidence based di seluruh Indonesia.
4. Meningkatkan
pembiayaan kesehatan.Sasaran utama dari strategi ini adalah : pembangunan
kesehatan memperoleh prioritas penganggaran pemerintah pusat dan daerah; anggaran
kesehatan pemerintah diutamakan untuk upaya pencegahan dan promosi kesehatan;
dan terciptanya sistem jaminan pembiayaan kesehatan terutama bagi rakyat miskin.
Pada kesempatan
tersebut juga disampaikan mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2004-2009. “ Berdasarkan Peraturan Presiden No.7 tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, telah
ditetapkan bahwa sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2009 adalah
meningkatnya derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas.” kata Menteri Kesehatan.
Pencapaian sasaran tersebut tercermin dari indikator dampak pembangunan
kesehatan, yaitu :
1. Meningkatnya
umur harapan hidup dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun.
2. Menurunnya
angka kematian bayi dari 35 menjadi 26 per 1000 kelahiran hidup.
3. Menurunnya
angka kematian ibu melahirkan dari 307 menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup.
4. Menurunnya
prevalensi gizi kurang pada anak anak balita dari 25,8 % menjadi 20%.
Lebih lanjut
disampaikan, bahwa dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan, Departemen
Kesehatan telah bertekad untuk menjunjung tinggi nilai-nilai sebagai berikut :
1. Berpihak
pada Rakyat.
Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, Departemen
Kesehatan akan selalu berpihak pada rakyat. Diperolehnya derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya bagi setiap orang adalah salah satu hak asasi manusia tanpa
membedakan suku, golongan agama, dan status sosial ekonomi.
2. Bertindak
cepat dan tepat.
Dalam mengatasi masalah kesehatan, apalagi yang bersifat
darurat harus dilakukan secara cepat. Tindakan yang cepat juga harus diikuti
dengan pertimbangan yang cermat, sehingga dapat mengenai sasaran dengan
intervensi yang tepat.
3. Kerjasama
tim
Dalam mengemban tugas-tugas pembangunan kesehatan, harus
dibina kerja tim yang utuh dan kompak, dengan menerapkan prinsip koordinasi,
integrasi, sinkronisasi dan sinergisme
4. Integritas
tinggi.
Dalam melakasanakan tugas, semua anggota Departemen
Kesehatan harus memiliki ketulusan hati, kejujuran, berkepribadian yang teguh,
dan bermroral tinggi.
5. Transparan
dan akuntabilitas
Semua kegiatan pembangunan kesehatan yang
diselenggarakaan oleh Departemen Kesehatan, harus dilaksanakan secara
transparan dan dapat dipertanggungjawabkan dan depertanggungugatkan kepada
publik.
G. KEBIJAKAN PRIORITAS
1. HIV/AIDS
a. Kebijakan Program Nasional
Sebagian besar kasus HIV dan AIDS
terjadi pada kelompok perilaku risiko tinggi yang merupakan kelompok yang
dimarjinalkan, maka program-program pencegahan dan pengendalian HIV dan AIDS
memerlukan pertimbangan keagamaan, adat-istiadat dannorma-norma masyarakat yang
berlaku di samping pertimbangan kesehatan. Penularan dan penyebaran HIV dan
AIDS sangat berhubungan dengan perilaku berisiko, oleh karena itu pengendalian
harus memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku tersebut.
b. Kebijakan Umum Pengendalian HIV dan AIDS Sektor
Kesehatan
1)
Upaya pencegahan yang efektif
termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap hubungan seks berisiko, semata-mata
hanya untuk memutus rantai penularan HIV.
2)
Upaya pengendalian HIV dan AIDS
merupakan upaya-upaya terpadu dari peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan
penyakit, pengobatan dan perawatan berdasarkan data dan fakta ilmiah serta
dukungan terhadap ODHA.
3)
Upaya pengendalian HIV dan AIDS
diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah, dan LSM berdasarkan prinsip
kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama sedangkan pemerintah
berkewajiban mengarahkan, membimbing dan menciptakan suasana yang mendukung
terselenggaranya upaya pengendalian HIV dan AIDS.
4)
Upaya pengendalian HIV dan AIDS
diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku risiko tinggi tetapi harus pula
memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan, termasuk yang berkaitan dengan
pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap penularan HIV and AIDS.
c. Kebijakan Operasional Pengendalian HIV dan AIDS
Sektor Kesehatan
1) Pemerintah
pusat bertugas melakukan regulasi dan standarisasi secara nasional kegiatan
program AIDS dan pelayanan bagi ODHA.
2) Penyelenggaran
dan pelaksanaan program dilakukan sesuai azas desentralisasi dengan
Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program.
3) Pengembangan
layanan bagi ODHA dilakukan melalui pengkajian menyeluruh dari berbagai aspek
yang meliputi: situasi epidemi daerah, beban masalah dan kemampuan, komitmen,
strategi dan perencanaan, kesinambungan, fasilitas, Sumber Daya Manusia (SDM)
dan pembiayaan. Sesuai dengan kewenangannya, pengembangan layanan ditentukan
oleh Dinas Kesehatan.
4) Setiap
pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV dan AIDS harus didahului dengan penjelasan
yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan (informed consent).
Konseling yang memadai harus diberikan sebelum dan sesudah pemeriksaan dan
hasil pemeriksaan diberitahukan kepada yang bersangkutan tetapi wajib dirahasiakan
kepada pihak lain.
5) Setiap
pemberi pelayanan berkewajiban memberikan layanan tanpa diskriminasi kepada
ODHA dan menerapkan prinsip:
a) Keberpihakan
kepada ODHA dan masyarakat (patient and community centered).
b) Upaya
mengurangi infeksi HIV pada pengguna Narkotika Alkohol Psikotropika Zat Adiktif
(NAPZA) suntik melalui kegiatan pengurangan dampak buruk (harm reduction)
dilaksanakan secara komprehensif dengan juga mengupayakan penyembuhan dari
ketergantungan pada NAPZA.
c) Penguatan
dan pengembangan program diprioritaskan bagi peningkatan mutu pelayanan, dan
kemudahan akses terhadap pencegahan, pelayanan dan pengobatan bagi ODHA.
d) Layanan
bagi ODHA dilakukan secara holistik, komprehensif dan integratif sesuai dengan
konsep layanan perawatan yang berkesinambungan.
d. Strategi
Untuk mencapai tujuan program,
ditetapkan strategi sebagai berikut:
1)
Meningkatkan dan memperkuat
kebijakan dan kepemilikan program melalui regulasi, standarisasi layanan
program, mobilisasi dan harmonisasi sumber daya dan alokasi pembiayaan.
2)
Meningkatkan dan memperkuat sistem
kesehatan dan manajemen program, melalui peningkatan kapasitas program,
pengembangan SDM program yang profesional, manajemen logistik, kegiatan
Monitoring dan Evaluasi (ME) program dan promosi program.
3)
Meningkatkan dan menguatkan sistem
informasi strategis melalui pengembangan kegiatan surveilans generasi kedua,
penelitian operasional untuk memperoleh data dan informasi bagi pengembangan
program pengendalian HIV dan AIDS.
4)
Memberdayakan ODHA dan masyarakat
dalam upaya pencegahan, perawatan, dukungan, pengobatan dan upaya kegiatan
program lainnya.
2. KORUPSI
Kinerja pemerintah dalam
pemberantasan kasus korupsi masih belum maksimal. Dalam lima tahun terakhir,
masih banyak ditemukan kebijakan yang justru melemahkan upaya pemberantasan
korupsi. Dengan kata lain, prestasi eksekutif di bawah kepemimpinan Susilo Bambang
Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) dalam memberantas korupsi masih jauh dari
ekspektasi publik.
“Tidak sedikit kebijakan
pemerintah yang justru menggembosi langkah pemberantasan korupsi itu sendiri.
Lihat saja dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Presiden SBY mengenai
kewenangan KPK yang dianggapnya terlalu besar, upaya BPKP mengaudit KPK, serta
rivalitas KPK vs Polri,” terang Zainal Arifin Mochtar, Ketua Pusat Kajian Anti
Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum (FH) UGM, Senin (7/9).
Disebutkan Zainal, selain
adanya upaya melemahkan KPK oleh pemerintah, masih terdapat beberapa catatan
atas kebijakan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi selama lima tahun
terakhir. Pertama, kebijakan Presiden yang berdampak pada pemberantasan
korupsi, antara lain, Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi, Keppres No. 11 Tahun 2005 tentang Pembentukan Timtas Tipikor, dan PP
No. 37 Tahun 2006 tentang Kenaikan Tunjangan Anggota DPRD.
Inpres No. 5 Tahun 2004
dan Keppres No. 11 Tahun 2005, lanjutnya, merupakan upaya untuk meningkatkan
kualitas pemberantasan korupsi. Namun dalam pelaksanaan, keduanya tidak
berjalan efektif dan masih meninggalkan banyak catatan. Sementara itu, PP No.
37 Tahun 2006 justru merupakan blunder kebijakan yang ditempuh pemerintah. “Dengan
keluarnya PP tersebut, potensi terjadinya gejala korupsi, khususnya bagi
anggota DPRD, menjadi semakin besar,” tambahnya.
Kedua, peran pemerintah
dalam pembentukan undang-undang anti korupsi. Dalam penyusunan RUU Pengadilan
Tipikor, pemerintah terbukti lamban. Selain itu, juga pada UU No. 3 Tahun 2009
tentang MA. Komitmen pemerintah dalam hal ini patut dipertanyakan sebab isu
paling krusial tentang perpanjangan usia hakim agung justru diusulkan oleh
pemerintah.
Terakhir, penyelesaian
adat atas dugaan kasus korupsi. Setidak-tidaknya terdapat dua kasus yang
disoroti, yakni kasus Amien Rais vs Presiden SBY dan Yusril Ihza Mahendra vs
Taufiequrrahman Ruki. Dalam konteks ini, Presiden terlihat mengintervensi
proses hukum yang semestinya dapat dijalankan sesuai dengan prosedur.
3. ANGKA KEMATIAN IBU DAN ANAK
Angka Kematian Ibu di Indonesia ternyata
masih menempati urutan teratas di antara negara-negara tetangga Asia Tenggara.
Bahkan rilis yang dikeluarkan oleh Prakarsa menunjukkan ada kenaikan yang
signifikan atas AKI.
Hasil dari Survei Dasar Kesehatan
Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan bahwa terdapat 359 AKI di antara 100 ribu
kelahiran hidup. Angka ini melambung ketika dibandingkan pada 2007, dengan 228
kasus AKI di antara 100 ribu kelahiran hidup. Buruknya kondisi di atas tentu
patut disayangkan. Pada 1997, sebenarnya Indonesia pernah ditempatkan oleh WHO
sebagai negara yang berhasil dalam program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
Pada tahun itu, pemerintah mampu
menurunkan angka 390 kasus AKI menjadi 334 di antara 100 ribu kelahiran dalam
kurun waktu tiga tahun. Keberhasilan
yang dicapai Indonesia pada tahun itu tidak terjadi secara instan. Dalam
lembaran sejarah, satu dekade sebelumnya, yaitu pada 1987 saat WHO meluncurkan
Safe Motherhood Initiative, Indonesia langsung menjawabnya dengan mengadakan
program Making Pregancy Safer (MPS).
Tak hanya berhenti di situ, pemerintah juga mengembangkan program lainnya. Salah satu yang dikembangkan adalah tentang hak reproduksi bagi remaja melalui pelayanan konseling yang baik dan benar. Melihat dari rekam jejak tersebut, tak aneh jika Indonesia pada kurun waktu antara 1980-2000 terbilang sukses untuk program KIA.
Tak hanya berhenti di situ, pemerintah juga mengembangkan program lainnya. Salah satu yang dikembangkan adalah tentang hak reproduksi bagi remaja melalui pelayanan konseling yang baik dan benar. Melihat dari rekam jejak tersebut, tak aneh jika Indonesia pada kurun waktu antara 1980-2000 terbilang sukses untuk program KIA.
Kebijakan-kebijakan terkait kesehatan
ibu dan anak sebenarnya sudah diatur dalam beragam regulasi yang ada, seperti
kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 5 persen
dari APBN dan 10 persen dari APBD. Ini
tentu dimaksudkan agar memberikan pelayanan maksimal untuk kesehatan, utamanya
ibu dan anak. Namun fakta di lapangan menunjukkan dalam Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) dan RAPBN 2014 alokasinya hanya sebesar Rp248 milyar atau
hanya sekitar 0,54 persen dari total anggaran bidang kesehatan. Potret seperti
ini seharusnya bisa menjadi tamparan keras bagi pemerintah untuk kembali dapat
memprioritaskan KIA dalam kebijkan-kebijakannya. Tidak lain tujuannya untuk
kembali memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak yang merosot
drastis akhir-akhir ini.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kebijakan adalah
rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan
suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan
pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu.
Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum yang
mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi pedoman
tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan.
B. SARAN
Dalam makalah ini penulis menyadari, bahwa
masih banyak kekurangan dan kelemahan. Untuk itu penulis mengharapkan kritikan
dan saran-saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan
makalah ini. Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan khususnya
bagi penulis sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Dunn, William N. 1999. Analisis
Kebijakan. Diterjemahkan Drs. Samodra
Wibawa, MA dkk. Edisi ke 2. Jakarta
https://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/kebijakan-kesehatan-ibu-dan-anak-di-indonesia-berjalan-mundur-110529491.html
http://ugm.ac.id/id/berita/732kinerja.pemerintah.dalam.pemberantasan.korupsi.belum.maksimal
http://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/beranda/42-kebijakan-kesehatan-health-policy/51-kebijakan-penanggulangan-ims-hiv-dan-aids
No comments:
Post a Comment