Wednesday, December 30, 2015

BERBAGAI KEBIJAKAN PEMERINTAH DIBIDANG KESEHATAN DAN SEKTOR LAIN YANG TERKAIT DENGAN PRAKTIK KEPERAWATAN KOMUNITAS DAN KELOMPOK KHUSUS



BAB I

PENDAHULUAN


A.   LATAR BELAKANG

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Kesehatan juga merupakan salah satu unsur dari kesejahteraan umum yang merupakan tujuan negara seperti yang diamanahkan di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 pasal 4 dan 5 juga menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumberdaya di bidang kesehatan, hak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau dan setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggungjawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Untuk itu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara menyeluruh agar terwujud derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka terjadi perubahan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan termasuk dalam bidang kesehatan. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengembangkan sistem kesehatan di daerah sesuaidengan kebutuhan masyarakatnya. Namun urusan pemerintahan di bidang kesehatan tetap merupakan urusan bersama (concurrent function) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan DaerahKabupaten atau Kota (Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Kesehatan, 2011).
Pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan selama ini telahberhasil meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya indikator pembangunan kesehatan. Tahun ini pembangunan kesehatan sedang berada di tengah periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.

B.   RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu:
1.    Menjelaskan pengertian kebijakan
2.    Menjelaskan perumusan masalah kebijakan
3.    Menjelaskan Visi dan Misi pembangunan kesehatan
4.    Menjelaskan kebijakan nasional tentang upaya kesehatan masyarakat
5.    Menjelaskan peranan masyarakat dalam pembangunan kesehatan
6.    Menjelaskan strategi pembangunan kesehatan

C.   TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Mahasiswa dapat mengetahui defenisi kebijakan
2.    Mahasiswa dapat mengetahui perumusan masalah kebijakan
3.    Mahasiswa dapat mengetahui Visi dan Misi pembangunan kesehatan
4.    Mahasiswa dapat mengetahui kebijakan nasional tentang upaya kesehatan masyarakat
5.    Mahasiswa dapat mengetahui peranan masyarakat dalam pembangunan kesehatan
6.    Mahasiswa dapat mengetahui strategi pembangunan kesehatan

D.   METODE PENULISAN

Adapun metode penulisan yang digunakan dalam menyusun tugas ini adalah menggunakan metode deskriptif:
a.    Studi kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan data membaca dan mempelajari buku yang berkaitan dengan makalah ini.
b.    Diskusi kelompok.
c.    Searching internet.

E.    SISTEMATIKA PENULISAN

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I   : PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
B.    Tujuan penulisan
C.   Metode penulisan
D.   Sistematika penulisan

BAB II  : PEMBAHASAN
A.    Defenisi Kebijakan
B.    Perumusan Masalah Kebijakan
C.   Visi Dan Misi Pembangunan Kesehatan
D.   Kebijakan nasional tentang upaya kesehatan masyarakat
E.    Masyarakat Dalam Pembangunan Kesehatan
F.    Strategi Pembangunan Kesehatan
G.   Kebijakan Prioritas
BAB III  : PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.    Saran
Daftar Pustaka




BAB II

PEMBAHASAN


A.   DEFENISI KEBIJAKAN

Banyak defenisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan. Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilhan pemerintah untuk melakkan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not to do). Friedrich mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu kebijakan adalah adanya tujuan (goal), sasaran  (objective) atau kehendak (purpose) ( Abidin,2002 ).
Defenisi kebijakan public dari Thomas Dye tersebut mengandung makna bahwa :
a.    Kebijakan public tersebut dibuat oleh badan pemerintah.
b.    Kebijakan public menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah (abidin, 2002).
Menurut Dunn proses kebijakan public terdiri dari lima tahapan yaitu sebagai berikut :
a.    Penyusunan agenda ( agenda seting ), yakni suatu proses agar suatu masalah bias mendapat perhatian dari pemerintah.
b.    Formulasi kebijakan  ( policy formulation ), yakni suatu proses perumusan pilihan-pilihan atau alternative pemecahan masalah oleh pemerintah.
c.    Penentuan kebijakan ( policy adoption ), yakni suatu proses dimana pemerintah menetapka alternative kebijakan apakah sesuai dengan criteria yang harus dipenuhi, menentukan siapa pelaksana kebijakan tersebut, dan bagaimana proses atau strategi pelaksanaan kebijakan tersebut.
d.    Implementasi kebijakan ( policy implementation ) , yaitu suatu proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil, pada tahap ini perlu adanya dukungan sumberdaya dan penyusunan organisasi pelaksana kebijakan.
e.    Evluasi kebijakan ( policy evaluation) , yakni suatu roses untuk memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan ( Subarsono, 2005 )
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan

kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum yang mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan.
Pengertian kebijakan pemerintah pada prinsipnya dibuat atas dasar kebijakan yang bersifat luas. Menurut Werf (1997) yang dimaksud dengan kebijakan adalah usaha mencapai tujuan tertentu dengan sasaran tertentu dan dalam urutan tertentu. Sedangkan kebijakan pemerintah mempunyai pengertian baku yaitu suatu keputusan yang dibuat secara sistematik oleh pemerintah dengan maksud dan tujuan tertentu yang menyangkut kepentingan umum.Sesuai dengan system administrasi Negara Republik Indonesia, kebijakan dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1.    Kebijakan Internal (Manajerial), yaitu kebijakan yang mempunyai kekuatan mengikat aparatur dalam organisasi pemerintah sendiri
2.    Kebijakan eksternal (Publik), yaitu suatu kebijakan yang mengikat masyarakat umum, sehingga dengan kebijakan demikian kebijakan harus tertulis.
Pengertian kebijakan pemerintah sama dengan kebijaksanaan berbagai bentuk seperti misalnya jika dilakukan oleh Pemerintah Pusat berupa Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri (KepMen) dan lain lain. Sedangkan jika kebijakan pemerintah tersebut dibuat oleh pemerintah daerah akan melahirkan Surat keputusan (SK), peraturan daerah (PerDa) dan lain lain.
Dalam penyusunan kebijaksanaa/kebijakan mengacu pada hal hal berikut:
1.    Berpedoman pada kebijaksanaan yang lebih tinggi.
2.    Konsisten dengan kebijaksanaan yang lain yang berlaku.
3.    Berorientasi ke masa depan.
4.    Berpedoman kepada kepentingan umum
5.    Jelas dan tepat serta transparan
6.    Dirumuskan secara tertulis.
Sedangkan kebijakan atau kebijaksanaan pemerintah mempunyai beberapa tingkatan yaitu:
1.    Kebijakan Nasional
Yaitu kebijakan Negara yang bersifat fundamental dan strategis untuk mencapai tujuan nasional/Negara sesuai dengan amanat UUD 1945 GBHN. Kewenangan dalam pembuat kebijaksanaan adalah MPR, dan presiden bersama-sama dengan DPR.Bentuk kebijaksanaan nasional yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa:

a.    UUD 1945
b.    Ketetapan MPR
c.    Undang-undang
d.    Peraturan pemerintah pengganti undang undang (Perpu) dibuat oleh presiden dalan hal kepentingan memaksa setelah mendapat persetujuan DPR.
2.    Kebijaksanaan Umum
Kebijaksanaan yang dilakukan oleh presiden yang bersifat nasional dan menyeluruh berupa penggarisan ketentuan ketentuan yang bersifat garis besar dalam rangka pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan sebagai pelaksanaan UUD 1945, ketetapan MPR maupun undang undang guna mencapai tujuan nasional.
Penetapan kebijaksanaan umum merupakan sepenuhnya kewenangan presiden, sedangkan bentuk kebijaksanaan umum tersebut adalah tertulis berupa peraturan perundang-undangan seperti hal nya peraturan pemerintah (PP), keputusan presiden (Kepres) serta Instruksi Presiden (Inpres).
Sedangkan kebijaksanaan pelaksanaan dari kebijakan umum tersebut merupakan penjabaran dari kebijakan umum serta strategi pelaksanaan dalam suatu bidang tugas umum pemerintahan dan pembangunan dibidang tertentu. Penetapan kebijaksanaan pelaksanaan terletak pada para pembantu presiden yaitu para menteri atau pejabat lain setingkat dengan menteri dan pimpinan sesuai dengan kebijaksanaan pada tinkat atasnya serta perundang-undangan berupa peraturan, keputusan atau instruksi pejabat tersebut (menteri/pejabat)

B.   PERUMUSAN MASALAH KEBIJAKAN

Masalah kebijakan, adalah nilai, kebutuhan atau kesempatan yang belum terpenuhi, tetapi dapat diindentifikasikan dan dicapai melalui tindakan publik. Tingkat kepelikan masalah tergantung pada nilai dan kebutuhan apa yang dipandang paling panting.Staf puskesmas yang kuat orientasi materialnya (gaji tidak memenuhi kebutuhan), cenderung memandang aspek imbalan dari puskesmas sebagai masalah mandasar dari pada orang yang punya komitmen pada kualitas pelayanan kesehatan.
Menurut Dunn (1988) beberapa karakteristik masalah pokok dari masalah kebijakan, adalah:
1.    Interdepensi (saling tergantung), yaitu kebijakan suatu bidang (energi) seringkali mempengaruhi masalah kebijakan lainnya (pelayanan kesehatan). Kondisi ini menunjukkan adanya sistem masalah. Sistem masalah ini membutuhkan pendekatan Holistik, satu masalah dengan yang lain tidak dapat di piahkan dan diukur sendirian.
2.    Subjektif, yaitu kondisi eksternal yang menimbulkan masalah diindentifikasi, diklasifikasi dan dievaluasi secara selektif. Contoh: Populasi udara secara objektif dapat diukur (data). Data ini menimbulkan penafsiran yang beragam (a.l. gang-guan kesehatan, lingkungan, iklim, dll). Muncul situasi problematis, bukan problem itu sendiri.
3.    Artifisial, yaitu pada saat diperlukan perubahan situasi problematis, sehingga dapat menimbulkan masalah kebijakan.
4.    Dinamis, yaitu masalah dan pemecahannya berada pada suasana perubahan yang terus menerus. Pemecahan masalah justru dapat memunculkan masalah baru, yang membutuhkan pemecahan masalah lanjutan.
5.    Tidak terduga, yaitu masalah yang muncul di luar jangkauan kebijakan dan sistem masalah kebijakan.

C.   VISI DAN MISI PEMBANGUNAN KESEHATAN

1.    Visi Strategis Pembangunan Kesehatan
Dengan memperhatikan isu strategis pembangunan kesehatan tersebut dan juga dengan mempertimbangkan perkembangan, masalah, serta berbagai kecenderungan pembangunan kesehatan ke depan maka ditetapkan visi pembangunan kesehatan oleh Departemen Kesehatan yaitu Masyarakat Yang Mandiri Untuk Hidup Sehat.
Masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat adalah suatu kondisi di mana masyarakat Indonesia menyadari, mau, dan mampu untuk mengenali, mencegah dan mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi, sehingga dapat bebas dari gangguan kesehatan, baik yang disebabkan karena penyakit termasuk gangguan kesehatan akibat bencana, maupun lingkungan dan perilaku yang tidak mendukung untuk hidup sehat.
2.    Misi Strategis Pembangunan Kesehatan
Visi pembangunan kesehatan tersebut kemudian diejawantahkan melalui misi pembangunan kesehatan, yakni Membuat Rakyat Sehat. Misi kesehatan ini kemudian dijalankan dengan mengembangkan nilai-nilai dasar dalam pelayanan kesehatan yaitu berpihak pada rakyat, bertindak cepat dan tepat, kerjasama tim, integritas yang tinggi, transparansi dan akuntabilitas.

D.     KEBIJAKAN NASIONAL TENTANG UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT
Kebijakan kesehatan merupakan tindakan yang mempunyai efek terhadap institusi,organisasi pelayanan dan pendanaan dari system pelayanan kesehatan. Kebijakan palayanan kesehatan meliputi:
1.      Public goods
            Berupa barang atau jasa yang pedanaanya berasal dari pemerintah, yang bersumber dari pajak dan kelompok masyarakat. Layanan public goods digunakan untuk kepentingan bersama dn dimiliki bersama. Keberadaanya memiliki pengaruh terhadap masyarakat.
2.      Privat goods
            Berupa barang atau jasa swasta yang pedanaanya berasal dari perseorangan. Digunakan untuk kepentingan sendiri dan dimiliki perseorangan , tidak bisa dimiliki sembarangan orang, terdapat persaingan dan eksternalitas rendah.
3.      Merit goods
            Karakteristik memerlukan biaya tambahan tidak dapat digunakan sembarangan orang ada persaingan dan eksternalitas tinggi contohnya cuci darah, pelayanan kehamilan, pelayanan kespro dan pengobatan  PMS.
            Indonesia termasuk negara berkembang sangat rentan terhadap berbagai macam penyakit. Hal ini tersebab karena kondisi riil masyarakat Indonesia yang miskin dan memiliki standart hidup (gisi) rendah. Kemiskinan ( gisi buruk) menjadi kandungan yang siap setiap saat melahirkan penyakit. Karena itu tidak mengejutkan kalau penyakit –penyakit menyerang masyarakat meningkat jumlahnya setiap tahun seiring meningkatkan jumlah angka kemiskinan.

E.    PERANAN MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN KESEHATAN

Menurut Notoatmodjo (2007), peran serta atau partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan permasalahan-permasalahan masyarakat tersebut. Peran serta dibidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri. Hal ini masyarakat sendirilah yang aktif memikirkan, memecahkan, melaksanakan dan mengevaluasikan program-program kesehatan. Institusi kesehatan hanya sekedar memotivasi dan membimbingnya. Peran serta setiap anggota masyarakat dituntut suatu kontibusi atau sumbangan. Kontribusi tersebut bukan hanya terbatas pada dana dan finansial saja tetapi dapat terbentuk dalam tenaga (daya) dan pemikiran (ide). Dalam hal ini dapat diwujudkan dalam 4M yakni, manpower (tenaga), money (uang), material (benda-benda) dan mind (ide atau gagasan).
1.    Dasar-dasar filosofi peran serta masyarakat
Hubungannya dengan fasilitas dan tenaga kesehatan, peran serta masyarakat dapat diarahkan untuk mencukupi kelangkaan tersebut. Dengan kata lain peran serta masyarakat dapat menciptakan fasilitas dan tenaga kesehatan. Peran serta masyarakat didasarkan pada idealisme berikut :
a.    Community fell need
b.    Organisasi pelayanan masyarakat kesehatan yang berdasarkan peran serta masyarakat.
c.    Pelayanan kesehatan tersebut akan dikerjakan oleh masyarakat sendiri
2.    Metode peran serta masyarakat
a.    Peran serta dengan paksaan
Artinya memaksa masyarakat untuk kontribusi dalam suatu program, baik melalui perundang-ungdangan, peraturan-perturan maupun dengan perintah lisan saja. Cara ini akan lebih cepat hasilnya dan mudah, tetapi masyarakat akan takut, merasa dipaksa dan kaget karena dasarnya bukan kesadaran tetapi ketakutan. Akibatnya masyarakat tidak akan mempunyai rasa memiliki terhadap program yang ada.


b.    Peran serta dengan persuasi dan edukasi
Artinya suatu parisipasi yang didasari pada kesadaran. Sukar tetapi bila tercapai hasilnya akan mempunyai rasa memiliki dan rasa memelihara. Partisipasi ini dimulai dengan penerangan, pendidikan dan sebagainya baik secara langsung maupun tidak langsung.
3.    Elemen-elemen peran serta masyarakat
a.    Motivasi
Persyaratan utama masyarakat berpartisipasi adalah motivasi. Tanpa motivasi masyarakat sulit berpartisipasi disegala program. Timbulnya motivasi harus dari masyarakat itu sendiri dan pihak luarnya hanya meragsang saja. Untuk itu pendidikan kesehatan sangat diperlukan dalam rangka merangsang tumbuhnya motivasi.
b.    Komunikasi
Suatu komunikasi yang baik adalah yang dapat menyampaikan pesan, ide dan informasi kepada masyarakat. Media masa, seperti TV, radio, poster, film dan sebagainya. Semua itu sangat efektif untuk manyampaikan pesan yang akirnya dapat menimbulkan partisipasi.
c.    Kooperasi
Kerja sama dengan instansi-instansi di luar kesehatan masyarakat dan instansi kesehatan sendiri adalah mutlak diperlukan. Adanya team work antara mereka ini akan membantu menumbuhkan partisipasi.
d.    Mobilisasi
Hal ini berarti bahwa peran serta itu bukan hanya terbatas pada tahap pelaksanaan program. Partipasi masyarakat dapat dimulai seawal mungkin sampai ke akhir mungkin, dari identifikasi masalah, menentukan prioritas masalah, perencanaan program, pelaksanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi program.
4.    Strategi peran serta masyarakat
Strategi peran serta menurut Notoatmojo (2007) yang dapat dipakai adalah sebagai berikut:
a.    Pendekatan masyarakat, diperlukan untuk memperoleh simpati masyarakat. Pendekatan ini terutama ditunjukan kepada pimpinan masyarakat, baik yang formal maupun informal.
b.    Pengorganisasian masyarakat dan pembentukan tim
1)    Dikoordinasikan oleh lurah atau kepala desa.
2)    Tim kerja yang dibentuk tiap RT, anggota tim adalah pemuka masyrakat RT yang bersangkutan dan pimpinan oleh ketua RT.
c.    Survei diri
Tiap tim kerja di RT melakukan survei di masyrakatnya masing-masing dan diolah serta dipresentasikan kepada warganya.
d.    Perencanaan program
Perencanaan dilakukan oleh masyarakat sendiri setelah mendengarkan presentasi survei diri dari tim kerja, serta telah menentukan bersama tentang prioritas masalah akan dipecahkan. Merencanakan program ini perlu diarahkan terbentuknya dana sehat dan kader kesehatan. kedua hal ini merupakan sangat penting dalam rangka pengembangan peran serta masyarakat. Dana sehat tersebut selain dari bentuk peran serta masyarakat, juga merupakan motor penggerak program.
e.    Training (Pelatihan)
Training para kader harus dipimpin oleh dokter puskesmas meliputi medis dan manajemen kecil-kecilan dalam mengolah program-program kesehatan tingkat desa serta pencatatan, pelaporan, dan rujukan.
f.     Rencana evaluasi
Menyusun rencana evaluasi perlu ditetapkan kriteria keberhasilan suatu program, secara sederhana dan mudah dilakukan oleh masyrakat atau kader itu sendiri (Notoatmojo, 2007).
5.    Faktor Yang Mempengaruhi Peranserta Masyarakat
a.    Manfaat kegiatan yang dilakukan.
Jika kegiatan yang dilakukan memberikan manfaat yang nyata dan jelas bagi masyarakat maka kesediaan masyarakat untuk berperanserta menjadi lebih besar.


b.    Adanya kesempatan.
Kesediaan juga dipengaruhi oleh adanya kesempatan atau ajakan untuk berperanserta dan masyarakat melihat memang ada hal-hal yang berguna dalam kegiatan yang akan dilakukan.
c.    Memiliki ketrampilan.
Jika kegiatan yang dilaksanakan membutuhkan ketrampilan tertentu dan orang yang mempunyai ketrampilan sesuai dengan ketrampilan tersebut maka orang tertarik untuk berperanserta.
d.    Rasa Memiliki.
Rasa memiliki suatu akan tumbuh jika sejak awal kegiatan masyarakat sudah diikut sertakan, jika rasa memiliki ini bisa ditumbuh kembangkan dengan baik maka peranserta akan dapat dilestarikan.
e.    Faktor tokoh masyarakat.
Jika dalam kegiatan yang diselenggarakan masyarakat melihat bahwa tokoh - tokoh masyarakat atau pemimpin kader yang disegani ikut serta maka mereka akan tertarik pula berperanserta.
6.    Peran Kader Masyarakat sebagai Wujud Peran Serta
Kader Posyandu adalah warga masyarakat yang terlibat dalam dalam seksi 7 dan seksi 10 LKMD (Tim penggerak PKK) yang tergabung dalam Pokja IV yang membidangi masalah kesehatan dan KB dan aktif dalam kegiatan Posyandu. Kader gizi adalah anggota masyarakat yang bekerja secara sukarela dan mampu melaksanakan upaya peningkatan gizi keluarga (UPGK) serta mampu menggerakkan masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan UPGK.
7.    Peranan Kader dalam penyelenggaraan Posyandu
a.    Memberitahukan hari dan jam buka Posyandu kepada para ibu pengguna Posyandu (ibu hamil, ibu yang mempunyai bayi dan anak balita serta ibu usia subur) sebelum hari buka Posyandu.
b.    Menyiapkan peralatan untuk penyelenggaraan Posyandu sebelum Posyandu dimulai seperti timbangan, buku catatan, KMS, alat peraga penyuluhan dll.
c.    Melakukan pendaftaran bayi, balita, ibu hamil dan ibu usia subur yang hadir di Posyandu.
d.    Melakukan penimbangan bayi dan balita.
e.    Mencatat hasil penimbangan kedalam KMS
f.     Melakukan penyuluhan perorangan kepada ibu-ibu di meja IV, dengan isi penyuluhan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi ibu yang bersangkutan.
g.    Melakukan penyuluhan kelompok kepada ibu-ibu sebelum meja I atau setelah meja V (kalau diperlukan).
h.    Melakukan kunjungan rumah khususnya pada ibu hamil, ibu yang mempunyai bayi dan balita serta pasangan usia subur, untuk menyuluh dan mengingatkan agar datang ke Posyandu.

F.    STRATEGI PEMBANGUNAN KESEHATAN

Pembangunan kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang diupayakan oleh pemerintah. Dalam melaksanakan pembangunan kesehatan di tengah beban dan permasalahan kesehatan yang semakin pelik, dibutuhkan strategi jitu untuk menghadapinya. Dalam mengatasi masalah kesehatan, Departemen Kesehatan memilki lima strategi utama. Hal tersebut mengemuka dalam pidato Menteri Kesehatan pada upacara bendera pada tanggal 17 Januari 2006.
Menteri Kesehatan mengatakan bahwa kunci sukses dalam pembangunan kesehatan ke depan, sangat ditentukan oleh adanya komitmen politis dari semua pihak, baik dari lingkungan eksekutif, legislatif, maupun dari masyarakat termasuk swasta. Kunci sukses lainnya ditengah keterbatasan sumber daya dalam hal pembiayaan dan tenaga adalah memprioritaskan bidang-bidang pembangunan kesehatan, seperti Kesehatan Ibu dan Anak. Oleh karena itu, Depkes akan menempuh 4 strategi utama, yaitu :
1.    Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat.
Sasaran utama strategi ini adalah seluruh desa menjadi desa siaga, seluruh masyarakat berperilaku hidup bersih dan sehat serta seluruh keluarga sadar gizi.
2.    Meningkatkan akses masyarakat tehadap pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Sasaran utama strategi ini adalah ; Setiap orang miskin mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu; setipa bayi, anak, dan kelompok masyarakat risiko tinggi terlindungi dari penyakit; di setiap desa tersedia SDM kesehatan yang kompeten; di setiap desa tersedia cukup obat esensial dan alat kesehatan dasar; setiap Puskesmas dan jaringannya dapat menjangkau dan dijangkau seluruh masyarakat di wilayah kerjanya; pelayanan kesehatan di setiap rumah sakit, Puskesmas dan jaringannya memenuhi standar mutu.
3.    Meningkatkan sistem surveillans, monitoring dan informasi kesehatan.
Sasaran utama dari strategi ini adalah : setiap kejadian penyakit terlaporkan secara cepat kepada desa/lurah untuk kemudian diteruskan ke instansi kesehatan terdekat; setiap kejadian luar biasa (KLB) dan wabah penyakit tertanggulangi secara cepat dan tepat sehingga tidak menimbulkan dampak kesehatan masyarakat; semua ketersediaan farmasi, makanan dan perbekalan kesehatan memenuhi syarat; terkendalinya pencemaran lingkungan sesuai dengan standar kesehatan; dan berfungsinya sistem informasi kesehatan yang evidence based di seluruh Indonesia.
4.    Meningkatkan pembiayaan kesehatan.Sasaran utama dari strategi ini adalah : pembangunan kesehatan memperoleh prioritas penganggaran pemerintah pusat dan daerah; anggaran kesehatan pemerintah diutamakan untuk upaya pencegahan dan promosi kesehatan; dan terciptanya sistem jaminan pembiayaan kesehatan terutama bagi rakyat miskin.
Pada kesempatan tersebut juga disampaikan mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. “ Berdasarkan Peraturan Presiden No.7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, telah ditetapkan bahwa sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2009 adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas.” kata Menteri Kesehatan. Pencapaian sasaran tersebut tercermin dari indikator dampak pembangunan kesehatan, yaitu :
1.    Meningkatnya umur harapan hidup dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun.
2.    Menurunnya angka kematian bayi dari 35 menjadi 26 per 1000 kelahiran hidup.
3.    Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 307 menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup.
4.    Menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak anak balita dari 25,8 % menjadi 20%.
Lebih lanjut disampaikan, bahwa dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan, Departemen Kesehatan telah bertekad untuk menjunjung tinggi nilai-nilai sebagai berikut :
1.    Berpihak pada Rakyat.
Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, Departemen Kesehatan akan selalu berpihak pada rakyat. Diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi setiap orang adalah salah satu hak asasi manusia tanpa membedakan suku, golongan agama, dan status sosial ekonomi.
2.    Bertindak cepat dan tepat.
Dalam mengatasi masalah kesehatan, apalagi yang bersifat darurat harus dilakukan secara cepat. Tindakan yang cepat juga harus diikuti dengan pertimbangan yang cermat, sehingga dapat mengenai sasaran dengan intervensi yang tepat.
3.    Kerjasama tim
Dalam mengemban tugas-tugas pembangunan kesehatan, harus dibina kerja tim yang utuh dan kompak, dengan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergisme
4.    Integritas tinggi.
Dalam melakasanakan tugas, semua anggota Departemen Kesehatan harus memiliki ketulusan hati, kejujuran, berkepribadian yang teguh, dan bermroral tinggi.
5.    Transparan dan akuntabilitas
Semua kegiatan pembangunan kesehatan yang diselenggarakaan oleh Departemen Kesehatan, harus dilaksanakan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan dan depertanggungugatkan kepada publik.

G.   KEBIJAKAN PRIORITAS

1.    HIV/AIDS

a.    Kebijakan Program Nasional
Sebagian besar kasus HIV dan AIDS terjadi pada kelompok perilaku risiko tinggi yang merupakan kelompok yang dimarjinalkan, maka program-program pencegahan dan pengendalian HIV dan AIDS memerlukan pertimbangan keagamaan, adat-istiadat dannorma-norma masyarakat yang berlaku di samping pertimbangan kesehatan. Penularan dan penyebaran HIV dan AIDS sangat berhubungan dengan perilaku berisiko, oleh karena itu pengendalian harus memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku tersebut.
b.    Kebijakan Umum Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan
1)    Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap hubungan seks berisiko, semata-mata hanya untuk memutus rantai penularan HIV.
2)    Upaya pengendalian HIV dan AIDS merupakan upaya-upaya terpadu dari peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan dan perawatan berdasarkan data dan fakta ilmiah serta dukungan terhadap ODHA.
3)    Upaya pengendalian HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah, dan LSM berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing dan menciptakan suasana yang mendukung terselenggaranya upaya pengendalian HIV dan AIDS.
4)    Upaya pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku risiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan, termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap penularan HIV and AIDS.
c.    Kebijakan Operasional Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan
1)    Pemerintah pusat bertugas melakukan regulasi dan standarisasi secara nasional kegiatan program AIDS dan pelayanan bagi ODHA.
2)    Penyelenggaran dan pelaksanaan program dilakukan sesuai azas desentralisasi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program.
3)    Pengembangan layanan bagi ODHA dilakukan melalui pengkajian menyeluruh dari berbagai aspek yang meliputi: situasi epidemi daerah, beban masalah dan kemampuan, komitmen, strategi dan perencanaan, kesinambungan, fasilitas, Sumber Daya Manusia (SDM) dan pembiayaan. Sesuai dengan kewenangannya, pengembangan layanan ditentukan oleh Dinas Kesehatan.
4)    Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV dan AIDS harus didahului dengan penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan (informed consent). Konseling yang memadai harus diberikan sebelum dan sesudah pemeriksaan dan hasil pemeriksaan diberitahukan kepada yang bersangkutan tetapi wajib dirahasiakan kepada pihak lain.
5)    Setiap pemberi pelayanan berkewajiban memberikan layanan tanpa diskriminasi kepada ODHA dan menerapkan prinsip:
a)    Keberpihakan kepada ODHA dan masyarakat (patient and community centered).
b)    Upaya mengurangi infeksi HIV pada pengguna Narkotika Alkohol Psikotropika Zat Adiktif (NAPZA) suntik melalui kegiatan pengurangan dampak buruk (harm reduction) dilaksanakan secara komprehensif dengan juga mengupayakan penyembuhan dari ketergantungan pada NAPZA.
c)    Penguatan dan pengembangan program diprioritaskan bagi peningkatan mutu pelayanan, dan kemudahan akses terhadap pencegahan, pelayanan dan pengobatan bagi ODHA.
d)    Layanan bagi ODHA dilakukan secara holistik, komprehensif dan integratif sesuai dengan konsep layanan perawatan yang berkesinambungan.
d.    Strategi
Untuk mencapai tujuan program, ditetapkan strategi sebagai berikut:
1)    Meningkatkan dan memperkuat kebijakan dan kepemilikan program melalui regulasi, standarisasi layanan program, mobilisasi dan harmonisasi sumber daya dan alokasi pembiayaan.
2)    Meningkatkan dan memperkuat sistem kesehatan dan manajemen program, melalui peningkatan kapasitas program, pengembangan SDM program yang profesional, manajemen logistik, kegiatan Monitoring dan Evaluasi (ME) program dan promosi program.
3)    Meningkatkan dan menguatkan sistem informasi strategis melalui pengembangan kegiatan surveilans generasi kedua, penelitian operasional untuk memperoleh data dan informasi bagi pengembangan program pengendalian HIV dan AIDS.
4)    Memberdayakan ODHA dan masyarakat dalam upaya pencegahan, perawatan, dukungan, pengobatan dan upaya kegiatan program lainnya.

2.    KORUPSI

Kinerja pemerintah dalam pemberantasan kasus korupsi masih belum maksimal. Dalam lima tahun terakhir, masih banyak ditemukan kebijakan yang justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Dengan kata lain, prestasi eksekutif di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) dalam memberantas korupsi masih jauh dari ekspektasi publik.
“Tidak sedikit kebijakan pemerintah yang justru menggembosi langkah pemberantasan korupsi itu sendiri. Lihat saja dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Presiden SBY mengenai kewenangan KPK yang dianggapnya terlalu besar, upaya BPKP mengaudit KPK, serta rivalitas KPK vs Polri,” terang Zainal Arifin Mochtar, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum (FH) UGM, Senin (7/9).
Disebutkan Zainal, selain adanya upaya melemahkan KPK oleh pemerintah, masih terdapat beberapa catatan atas kebijakan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi selama lima tahun terakhir. Pertama, kebijakan Presiden yang berdampak pada pemberantasan korupsi, antara lain, Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Keppres No. 11 Tahun 2005 tentang Pembentukan Timtas Tipikor, dan PP No. 37 Tahun 2006 tentang Kenaikan Tunjangan Anggota DPRD.
Inpres No. 5 Tahun 2004 dan Keppres No. 11 Tahun 2005, lanjutnya, merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas pemberantasan korupsi. Namun dalam pelaksanaan, keduanya tidak berjalan efektif dan masih meninggalkan banyak catatan. Sementara itu, PP No. 37 Tahun 2006 justru merupakan blunder kebijakan yang ditempuh pemerintah. “Dengan keluarnya PP tersebut, potensi terjadinya gejala korupsi, khususnya bagi anggota DPRD, menjadi semakin besar,” tambahnya.
Kedua, peran pemerintah dalam pembentukan undang-undang anti korupsi. Dalam penyusunan RUU Pengadilan Tipikor, pemerintah terbukti lamban. Selain itu, juga pada UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA. Komitmen pemerintah dalam hal ini patut dipertanyakan sebab isu paling krusial tentang perpanjangan usia hakim agung justru diusulkan oleh pemerintah.
Terakhir, penyelesaian adat atas dugaan kasus korupsi. Setidak-tidaknya terdapat dua kasus yang disoroti, yakni kasus Amien Rais vs Presiden SBY dan Yusril Ihza Mahendra vs Taufiequrrahman Ruki. Dalam konteks ini, Presiden terlihat mengintervensi proses hukum yang semestinya dapat dijalankan sesuai dengan prosedur.

3.    ANGKA KEMATIAN IBU DAN ANAK

Angka Kematian Ibu di Indonesia ternyata masih menempati urutan teratas di antara negara-negara tetangga Asia Tenggara. Bahkan rilis yang dikeluarkan oleh Prakarsa menunjukkan ada kenaikan yang signifikan atas AKI.
Hasil dari Survei Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan bahwa terdapat 359 AKI di antara 100 ribu kelahiran hidup. Angka ini melambung ketika dibandingkan pada 2007, dengan 228 kasus AKI di antara 100 ribu kelahiran hidup. Buruknya kondisi di atas tentu patut disayangkan. Pada 1997, sebenarnya Indonesia pernah ditempatkan oleh WHO sebagai negara yang berhasil dalam program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
Pada tahun itu, pemerintah mampu menurunkan angka 390 kasus AKI menjadi 334 di antara 100 ribu kelahiran dalam kurun waktu tiga tahun.  Keberhasilan yang dicapai Indonesia pada tahun itu tidak terjadi secara instan. Dalam lembaran sejarah, satu dekade sebelumnya, yaitu pada 1987 saat WHO meluncurkan Safe Motherhood Initiative, Indonesia langsung menjawabnya dengan mengadakan program Making Pregancy Safer (MPS).

Tak hanya berhenti di situ, pemerintah juga mengembangkan program lainnya. Salah satu yang dikembangkan adalah tentang hak reproduksi bagi remaja melalui pelayanan konseling yang baik dan benar. Melihat dari rekam jejak tersebut, tak aneh jika Indonesia pada kurun waktu antara 1980-2000 terbilang sukses untuk program KIA. 
Kebijakan-kebijakan terkait kesehatan ibu dan anak sebenarnya sudah diatur dalam beragam regulasi yang ada, seperti kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD.  Ini tentu dimaksudkan agar memberikan pelayanan maksimal untuk kesehatan, utamanya ibu dan anak. Namun fakta di lapangan menunjukkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan RAPBN 2014 alokasinya hanya sebesar Rp248 milyar atau hanya sekitar 0,54 persen dari total anggaran bidang kesehatan. Potret seperti ini seharusnya bisa menjadi tamparan keras bagi pemerintah untuk kembali dapat memprioritaskan KIA dalam kebijkan-kebijakannya. Tidak lain tujuannya untuk kembali memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak yang merosot drastis akhir-akhir ini.











BAB III

PENUTUP


A.   KESIMPULAN

Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu.
Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum yang mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan.

B.   SARAN

Dalam makalah ini penulis menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan. Untuk itu penulis mengharapkan kritikan dan saran-saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri.













DAFTAR PUSTAKA

                              
Dunn, William N. 1999. Analisis Kebijakan. Diterjemahkan Drs. Samodra
Wibawa, MA dkk. Edisi ke 2. Jakarta
http://ugm.ac.id/id/berita/732kinerja.pemerintah.dalam.pemberantasan.korupsi.belum.maksimal

No comments:

Post a Comment