Wednesday, September 23, 2015

Asuhan Keperawatan Pasien dengan Sindrom Steven Johnson



BAB I PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang

          Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
           Etiologi SSJ sulit ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
           Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis.Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
(Amin, 2013 : 532)
          Dari jumlah kejadian diatas dan kondisi penyakit yang memerlukan pendeteksian dan penanganan spesifik, penulis tertarik untuk menulis makalah “ Asuhan Keperawatan sindrom steven johnson”.

B.  Rumusan Masalah

1.   Apa pengertian Sindrom Steven Johnson ?
2.   Apa etiologi dari Sindrom Steven Johnson?
3.   Apa manifestasi klinis Sindrom Steven Johnson ?
4.   Bagaimana patofisiologi Sindrom Steven Johnson ?
5.   Apa saja komplikasi dari Sindrom Steven Johnson ?
6.   Apa saja pemeriksaan diagnosis yang dilakukan pada pasien Sindrom Steven Johnson?
7.   Bagaimana penatalaksanaan medis dari penyakit Sindrom Steven Johnson ?
8.   Bagaimana Asuhan Keperawatan Pasien dengan Sindrom Steven Johnson?

C.  Tujuan

1.    Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran dan mengetahui tentang bagaimana Asuhan Keperawatan pada Klien Sindrom Steven Johnson.

2.    Tujuan Khusus
Diharapkan mahasiswa mampu memberikan gambaran asuhan keperawatan meliputi :
a.    Mampu memberikan gambaran tentang pengkajian pada Klien dengan Sindrom Steven Johnson.
b.    Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Klien dengan Sindrom Steven Johnson.
c.    Mampu membuat rencana keparawatan pada Klien dengan Sindrom Steven Johnson.
d.    Mampu menyebutkan faktor pendukung dan penghambat dalam Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Sindrom Steven Johnson.

D.  Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan
A.    Latar Belakang
B.    Rumusan Masalah
C.   Tujuan
D.   Sistematika Penulisan
BAB II Pembahasan
A.    Definisi
B.    Etiologi
C.   Manifestasi Klinis
D.   Patofisiologi
E.    Pathways
F.    Komplikasi
G.   Pemeriksaan Penunjang
H.   Penatalaksanaan Medis
BAB III Asuhan Keperawatan
A.    Pengkajian
B.    Diagnosa Keperawatan
C.   Intervensi Keperawatan



BAB II PEMBAHASAN


A.  Definisi

Steven Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah dari dermis. (Amin, 2013 : 532).
Syndrom Steven Johnson adalah Adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lender di orifisium dan mata dengan keadaan umum berfariasi dari ringan sampai berat kelainan pada kulit berupa eritema vesikel / bula, dapat disertai purpura. (Djuanda, Adhi, 2000 : 147)
Syndrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
Jadi syndrom steven johnson adalah suatu syndrom berupa kelainan kulit pada selaput lendir oritisium mata genital.

B.  Etiologi

Sindrom Steven Johnson dapat disebabkan oleh karena :
1.   Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes simpleks, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein Barr, atau  sejenisnya),
2.   Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole, valdecoxib, sitagliptin, penicilin, barbiturat, sulfonamide, fenitoin, azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin),
3.   Keganasan (karsinoma dan limfoma), atau
4.   Faktor idiopatik (hingga 50%).
5.   Sindrom Steven Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung ginseng. Sindrom Steven Johnson juga mungkin disebabkan oleh karena penggunaan kokain.
6.   Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena penggunaan antibiotic dan sulfametoksazole. Pengobatan yang secara turun menurun diketahui menyebabkan SJS, eritem multiformis, sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfonamide (antibiotik), penisilin (antibiotic), barbiturate (sedative), lamotrigin (antikonvulsan), fenitoin-dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan asam valproat meningkatkan resiko dari terjadinya SJS (Amir, 2013 : 532).

C.  Manifestasi Klinis

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat berespons sampai koma. Mulainya dari penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
  1. Kelainan kulit
  2. Kelainan selaput lendir di orifisium
  3. Kelainan mata

1.     Kelainan Kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
2.    Kelainan Selaput lender di orifisium
Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital, sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan. Kelainan berupa vesikal dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudo membran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
3.    Kelainan Mata
Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.

D.  Patofisiologi

Patogenesisnya diperkirakan disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ).
Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147).
                                                                  .
1.   Reaksi Hipersensitif tipe III.
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).                                            .
2.   Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

E.    Pathways


A.     
B.     
C.    


D.    




E.     




F.     









Nyeri
 
 






F.  Komplikasi

1.      Bronkopneumonia (16%)
2.      sepsis
3.      kehilangan cairan/darah
4.      gangguan keseimbangan elektrolit
5.      syok
6.      kebutaan gangguan lakrimasi

 

G. Pemeriksaan Penunjang

1.   CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebakan karena infeksi bakteri.
2.   Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai penyebab infeksi.20
3.   Tes lainnya :
a.   Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit gawatdarurat Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal
b.   Adanya nekrosis sel epidermis
c.   Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular
d.   Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
e.   Determine renal function and evaluate urine for blood.
f.    Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan      kolonoskopi .
g.   Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
h.   Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosa.

H.  Penatalaksanaan Medis

a.    Kortikosteroid
            Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari. Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
b.    Antibiotik
            Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
c.                Infus dan tranfusi darah
            Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
d.   Topikal :
            Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.

           




BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

 

A.  Pengkajian

1.        Identitas Pasien
Lakukan pengkajian pada identitas pasien dan isi identitasnya,yang meliputi:nama,jenis kelamin,suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, tanggal pengkajian.
2.         Keluhan utama
Sering menjadi alasan untuk meminta pertolongan kesehetan,di ikuti oleh mereka mengalami rasa gatal dan timbul benjolan yang berisi cairan
3.         Riwayat kesehatan sekarang (RKS)
            Demam tinggi, nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan/ sulit      menelan.
4.         Riwayat kesehatan dahulu (RKD)
            Pernah di rawat di rumah sakit dengan keluhan utama 
5.          Riwayat kesehatan keluarga (RKK)
            Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama.
6.         Data dasar pengkajian pasien
a.   Aktivitas/ istirahat
Tanda      : Keterbatasan rentang gerak pada yang sakit.
b.   Sirkulasi
Tanda      : Pembentukan edema jaringan
c.   Eliminasi
Tanda      : Mengidentifikasikan kerusakan otot dalam, diuresis, penurunan bising usus/tak ada.
d.   Integritas Ego
Gejala      : Masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan
Tanda    : Ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal menarik diri,marah.
e.   Pernapasan
Tanda      : Ketidakmampuan menalan sekresi oral dan         Sianosis, indikasi cedera inhalasi.
f.    Makanan/cairan
Tanda       : Edema jaringan umum,anoreksia,mual/munta
g.  Neurosensori  
Tanda           : Perubahan oriental, efekperilaku, laserasi korneal, Kerusakan ,retinal, penurunan ketajaman penglihatan, ruptur membran timpani, paralisis.
h.   Keamanan
Tanda           : Kulit mungkin coklat kekuningan dengan tekstur seperti kulit samak halus, lepuh, ulkus, nekrosis, atau jaringan parut tebal.
i.    Penyuluhan/pembelajaran
 Pertimbangan    : DRG menunjukan rerata lama di rawat: Tergantung pada beratnya dan terlibatnya sistem organ.
Rencana pemulangan : Memerlukan bantuan untuk pengobatan  aktifitas perawatan diri, tugas
                                      pemeliharaan rumah, transportasi,
                                      keuangan, konsul,  kejuruan, perubahan susuna rumah atau fasilitas tempat tinggal selain itu rehabilitas lama
j.    Pemeriksaan diagnostik
Hitung darah lengkap : Hipertensi awal menunjukan hemokosentrasi sehubungan dengan perpidahan/kehilangan cairan
SDP                             : liukositosis dapat terjadi sehubungan dengan kehilangan sel pada sisi luka dan respon inflamasi terhadap cidera.
GDA                                  : Dasar penting untuk kecurigaan cedera inhalasi
Alkalin fosfat                      : Peningkatan sehubungan dengan perpindahan cairan intersitial/gangguan pompa natrium

BUN / Kreatinin                    : Peninggian menunjukkan penurunan perfusi/fungsi ginjal, namun kreatinin dapat meningkat karena cedera jaringan      

B.  Diagnosa Keperawatan

a.    Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
b.    Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
c.    Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit
d.   Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
e.    Gangguan Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis




C.  Intervensi Keperawatan


No
Diagnosa Keperawatan
NOC
NIC
Rasional
1
Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal

Pasien bebas infeksi opotunistik dan komplikasinya dengan kriteria hasil : tidak ada tanda – tanda infeksi baru,tidak ada infeksi oportunitas,tanda vital dalam batas normal, tidak ada luka atau eksudat.
1.Guidance
Kaji tanda – tanda infeksi baru.
2.Support
Menggunakan tekhnik aseptik pada setiap tindakan invasif,seperti :cuci tangan sebelum memberikan tindakan.
3.Teaching
Ajarkan pasien metode mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.
4.development environment
Menciptakan lingkungan yang bersih
5.collaboration
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat anti infeksi
1.untuk pengobatan dini.
2.mencegah pasien terpapar oleh kuman patogen yang diperoleh di rumah sakit.

3.mencegah bertambahnya infeksi


4.mencegah bertambahnya infeksi
5.mempertahankan kadar darah yang terapeutik.
2.
Kekurangan volume cairan b/d  output yang berlebihan :diare berat, berkeringat,muntah, hipermetabolisme,anoreksia.
Mempertahankan didrasi dengan kriteria hasil :
Membrane mukosa lembab,turgor kulit baik,tanda vital stabil,haluaran urine adekuat.
1.Guidance
Kaji turgor kulit,membrane mukosa,rasa haus dan tanda – tanda vital
2.support
Mengatur  antimietik sesuai order
3.teaching
Mengajarkan pasien untuk menghindari makanan yang berpotensial menimbulkan diare:pedas, berrlemak, kacang, kubis, susu.
4.development environment.
Menciptakan lingkungan yang bersih,tenang, dan nyaman

5.collaboration
Memberi cairan/elektrolit melalui selang /iv dan memberikan obat sesuai indikasi
1.mempermudah melakukan tindakan selanjutnya.

2.mengurangi output yang berlebihan.
3.mengurangi diare





4.agar pasien tenang dan dapat meningkatkan nafsu makan
5.mengurangi tingkat kekurangan cairan.
3
Pola nafas tidak efektif/perubahan pertukaran gas b/d ketidakseimbangan perfusi ventilasi (PCP/ pneumonia interstisial, anemia)
Mempertahankan pola napas efektif dengan kritera hasil:tidak mengalami sesak napas,GDA dalam batas normal,saluran pernapasan bersih tidak sekret.
1.guidance
Mengkaji bunyi napas,mencatat frekuensi,kedalaman napas,dan sianosis.
2.support
Mengatur posisi semi fowler
3.teaching
Mengajrkan batuk efektif
4.development environment
Memberikan lingkungan yang tenang
5.collaboration
Berikan O2 dan obat – obatan sesuai indikasi
1.memudahkan tindakan selanjutnya


2.mempermudahkan klien untuk bernapas
3.mempermudah mengelurkan sekret
4.agar klien tenang

5.mengurangi sesak dan mempercepat penyembuhan





BAB IV PENUTUP


A.  Kesimpulan


Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis.Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN.

B. Saran

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat.
Kita sebagai perawat harus mengetahui terlebih dahulu tanda dan gejala apa itu Sindrom Steven Johnson? Dan bagaimana penyebab penyakit ini terjadi,dan sebagai tenaga kesehatan kita harus mmberikan penyuluhan tentang penyakit Sindrom Stephen Johnson .