BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan
gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit
vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat.
Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum
multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular,
dermatostomatitis, dll.
Etiologi
SSJ sulit ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun
pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor
penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit),
obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis,
kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X),
lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat
ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas
tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari
antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV)
adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
Stevens-Johnson
Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap
sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa
eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan
kriteria klinis.Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum
eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi
target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya
rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular,
biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas
yang tinggi dan prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan
sama-sama merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam derajat
keparahannya. Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :
1.
Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2.
Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3.
Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
(Amin,
2013 : 532)
Dari jumlah kejadian diatas dan kondisi penyakit yang
memerlukan pendeteksian dan penanganan spesifik, penulis tertarik untuk menulis
makalah “ Asuhan Keperawatan sindrom steven johnson”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian
Sindrom Steven Johnson ?
2. Apa etiologi dari
Sindrom Steven Johnson?
3. Apa manifestasi klinis Sindrom Steven Johnson ?
4. Bagaimana patofisiologi Sindrom Steven Johnson ?
5. Apa saja komplikasi dari Sindrom Steven Johnson ?
6. Apa saja pemeriksaan diagnosis yang dilakukan pada
pasien Sindrom Steven
Johnson?
7. Bagaimana penatalaksanaan medis dari penyakit Sindrom Steven Johnson ?
8. Bagaimana Asuhan Keperawatan Pasien dengan Sindrom Steven Johnson?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk
mendapatkan gambaran dan mengetahui tentang bagaimana Asuhan Keperawatan pada
Klien Sindrom Steven Johnson.
2. Tujuan Khusus
Diharapkan
mahasiswa mampu memberikan gambaran asuhan keperawatan meliputi :
a. Mampu memberikan gambaran tentang pengkajian pada
Klien dengan Sindrom Steven Johnson.
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Klien
dengan Sindrom Steven Johnson.
c. Mampu membuat rencana keparawatan pada Klien dengan
Sindrom Steven Johnson.
d. Mampu menyebutkan faktor pendukung dan penghambat
dalam Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Sindrom Steven Johnson.
D. Sistematika Penulisan
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Sistematika Penulisan
BAB
II Pembahasan
A. Definisi
B. Etiologi
C. Manifestasi Klinis
D. Patofisiologi
E. Pathways
F. Komplikasi
G. Pemeriksaan Penunjang
H. Penatalaksanaan Medis
BAB
III Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
B. Diagnosa Keperawatan
C. Intervensi Keperawatan
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi
Steven Johnson
Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang mempengaruhi kulit dimana
kematian sel menyebabkan epidermis terpisah dari dermis. (Amin, 2013 : 532).
Syndrom Steven
Johnson adalah Adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lender di
orifisium dan mata dengan keadaan umum berfariasi dari ringan sampai berat
kelainan pada kulit berupa eritema vesikel / bula, dapat disertai purpura. (Djuanda, Adhi, 2000 : 147)
Syndrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema,
vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang
orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk
(Mansjoer, A. 2000: 136).
Jadi syndrom
steven johnson adalah suatu syndrom berupa kelainan kulit pada selaput lendir
oritisium mata genital.
B. Etiologi
Sindrom Steven Johnson dapat disebabkan oleh karena :
1. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi
seperti virus herpes simpleks, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis,
virus Epstein Barr, atau sejenisnya),
2. Efek samping dari obat-obatan (allopurinol,
diklofenak, fluconazole, valdecoxib, sitagliptin, penicilin, barbiturat,
sulfonamide, fenitoin, azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin,
ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin),
3. Keganasan (karsinoma dan limfoma), atau
4. Faktor idiopatik (hingga 50%).
5. Sindrom Steven Johnson juga dilaporkan secara
konsisten sebagai efek samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung
ginseng. Sindrom Steven Johnson juga mungkin disebabkan oleh karena penggunaan
kokain.
6. Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral,
keganasan atau reaksi alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama
nampaknya karena penggunaan antibiotic dan sulfametoksazole. Pengobatan yang
secara turun menurun diketahui menyebabkan SJS, eritem multiformis, sindrom
Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfonamide (antibiotik),
penisilin (antibiotic), barbiturate (sedative), lamotrigin (antikonvulsan),
fenitoin-dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan asam valproat
meningkatkan resiko dari terjadinya SJS (Amir, 2013 : 532).
C. Manifestasi Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun,
penderita dapat berespons sampai koma. Mulainya dari penyakit akut dapat
disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk,
pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa
:
- Kelainan kulit
- Kelainan selaput lendir di orifisium
- Kelainan mata
1. Kelainan
Kulit
Kelainan
kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
2. Kelainan
Selaput lender di orifisium
Kelainan di
selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital, sedangkan
dilubang hidung dan anus jarang ditemukan. Kelainan berupa vesikal dan bula
yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman.
Juga dapat terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta
berwarna hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring,
traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini dapat
menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudo membran di
faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan
Mata
Kelainan
mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea,
iritis dan iridosiklitis.
D. Patofisiologi
Patogenesisnya
diperkirakan disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe
III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk
mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya
terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan
kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ).
Reaksi
hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak
kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi
reaksi radang (Djuanda, 2000: 147).
.
1. Reaksi Hipersensitif tipe III.
Hal ini
terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah
mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak
ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan
kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi
tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil
tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak
sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini
menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72). .
2. Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi
pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen
sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang
diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam
sampai 27 jam untuk terbentuknya.
E. Pathways
A.
B.
C.
D.
E.
F.
Nyeri
Nyeri
|
F. Komplikasi
1. Bronkopneumonia
(16%)
2. sepsis
3. kehilangan
cairan/darah
4. gangguan
keseimbangan elektrolit
5. syok
6. kebutaan
gangguan lakrimasi
G. Pemeriksaan Penunjang
1. CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel darah
putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit
kemungkinan disebakan karena infeksi bakteri.
2. Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila
dicurigai penyebab infeksi.20
3. Tes lainnya :
a. Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi
bukan merupakan prosedur unit gawatdarurat Biopsi kulit memperlihatkan bulla
subepidermal
b. Adanya nekrosis sel epidermis
c. Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular
d. Chest radiography
untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
e. Determine renal function and evaluate urine for blood.
f. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy
(EGD), dan kolonoskopi .
g. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya
pneumonitis
h. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat
mendukung ditegakkannya diagnosa.
H. Penatalaksanaan Medis
a. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari. Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari. Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
b. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
c. Infus dan tranfusi darah
Pengaturan
keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau
tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat
menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan
Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat
diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut,
terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura
yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari
dan hemostatik.
d. Topikal
:
Terapi
topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di
kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1.
Identitas Pasien
Lakukan pengkajian pada identitas pasien dan isi
identitasnya,yang meliputi:nama,jenis kelamin,suku bangsa, tanggal lahir,
alamat, agama, tanggal pengkajian.
2. Keluhan utama
Sering menjadi alasan untuk meminta pertolongan kesehetan,di ikuti
oleh mereka mengalami rasa gatal dan timbul benjolan yang berisi cairan
3. Riwayat kesehatan sekarang (RKS)
Demam
tinggi, nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan/ sulit menelan.
4. Riwayat kesehatan dahulu (RKD)
Pernah di rawat di
rumah sakit dengan keluhan utama
5. Riwayat kesehatan keluarga (RKK)
Tidak
ada keluarga yang menderita penyakit yang sama.
6. Data dasar pengkajian pasien
a. Aktivitas/ istirahat
Tanda :
Keterbatasan rentang gerak pada yang sakit.
b. Sirkulasi
Tanda : Pembentukan edema jaringan
Tanda : Pembentukan edema jaringan
c. Eliminasi
Tanda :
Mengidentifikasikan kerusakan otot dalam, diuresis, penurunan bising
usus/tak ada.
d. Integritas Ego
Gejala : Masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan
Gejala : Masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan
Tanda
: Ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal menarik diri,marah.
e.
Pernapasan
Tanda :
Ketidakmampuan menalan sekresi oral dan Sianosis, indikasi cedera inhalasi.
f.
Makanan/cairan
Tanda : Edema jaringan umum,anoreksia,mual/munta
g. Neurosensori
Tanda :
Perubahan oriental, efekperilaku, laserasi korneal, Kerusakan
,retinal, penurunan ketajaman penglihatan,
ruptur membran timpani, paralisis.
h.
Keamanan
Tanda : Kulit mungkin coklat kekuningan dengan
tekstur seperti kulit samak
halus, lepuh, ulkus, nekrosis, atau jaringan parut tebal.
i.
Penyuluhan/pembelajaran
Pertimbangan : DRG
menunjukan rerata lama di rawat: Tergantung pada beratnya dan terlibatnya sistem
organ.
Rencana pemulangan : Memerlukan bantuan untuk pengobatan aktifitas perawatan diri, tugas
pemeliharaan rumah, transportasi,
keuangan, konsul,
kejuruan, perubahan susuna rumah atau fasilitas tempat tinggal selain itu
rehabilitas lama
j. Pemeriksaan diagnostik
Hitung darah lengkap
: Hipertensi awal menunjukan hemokosentrasi sehubungan dengan
perpidahan/kehilangan cairan
SDP : liukositosis
dapat terjadi sehubungan dengan kehilangan sel pada sisi luka dan respon inflamasi terhadap cidera.
GDA
: Dasar penting untuk
kecurigaan cedera inhalasi
Alkalin
fosfat :
Peningkatan sehubungan dengan perpindahan
cairan intersitial/gangguan
pompa natrium
BUN /
Kreatinin :
Peninggian menunjukkan penurunan perfusi/fungsi ginjal, namun kreatinin dapat meningkat
karena cedera jaringan
B. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan integritas kulit
b.d. inflamasi dermal dan epidermal
b. Gangguan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
c. Gangguan rasa nyaman, nyeri
b.d. inflamasi pada kulit
d. Gangguan intoleransi aktivitas
b.d. kelemahan fisik
e. Gangguan Persepsi sensori:
kurang penglihatan b.d konjungtifitis
C. Intervensi Keperawatan
No
|
Diagnosa
Keperawatan
|
NOC
|
NIC
|
Rasional
|
1
|
Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan
epidermal
|
Pasien
bebas infeksi opotunistik dan komplikasinya dengan kriteria hasil : tidak ada
tanda – tanda infeksi baru,tidak ada infeksi oportunitas,tanda vital dalam
batas normal, tidak ada luka atau eksudat.
|
1.Guidance
Kaji
tanda – tanda infeksi baru.
2.Support
Menggunakan
tekhnik aseptik pada setiap tindakan invasif,seperti :cuci tangan sebelum
memberikan tindakan.
3.Teaching
Ajarkan
pasien metode mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.
4.development
environment
Menciptakan
lingkungan yang bersih
5.collaboration
Kolaborasi
dengan dokter untuk pemberian obat anti infeksi
|
1.untuk
pengobatan dini.
2.mencegah pasien terpapar oleh kuman
patogen yang diperoleh di rumah sakit.
3.mencegah
bertambahnya infeksi
4.mencegah
bertambahnya infeksi
5.mempertahankan
kadar darah yang terapeutik.
|
2.
|
Kekurangan
volume cairan b/d output yang
berlebihan :diare berat, berkeringat,muntah, hipermetabolisme,anoreksia.
|
Mempertahankan
didrasi dengan kriteria hasil :
Membrane
mukosa lembab,turgor kulit baik,tanda vital stabil,haluaran urine adekuat.
|
1.Guidance
Kaji
turgor kulit,membrane mukosa,rasa haus dan tanda – tanda vital
2.support
Mengatur antimietik sesuai order
3.teaching
Mengajarkan
pasien untuk menghindari makanan yang berpotensial menimbulkan diare:pedas, berrlemak,
kacang, kubis, susu.
4.development
environment.
Menciptakan
lingkungan yang bersih,tenang, dan nyaman
5.collaboration
Memberi
cairan/elektrolit melalui selang /iv dan memberikan obat sesuai indikasi
|
1.mempermudah
melakukan tindakan selanjutnya.
2.mengurangi
output yang berlebihan.
3.mengurangi
diare
4.agar
pasien tenang dan dapat meningkatkan nafsu makan
5.mengurangi
tingkat kekurangan cairan.
|
3
|
Pola
nafas tidak efektif/perubahan pertukaran gas b/d ketidakseimbangan perfusi ventilasi
(PCP/ pneumonia interstisial, anemia)
|
Mempertahankan
pola napas efektif dengan kritera hasil:tidak mengalami sesak napas,GDA dalam
batas normal,saluran pernapasan bersih tidak sekret.
|
1.guidance
Mengkaji
bunyi napas,mencatat frekuensi,kedalaman napas,dan sianosis.
2.support
Mengatur
posisi semi fowler
3.teaching
Mengajrkan
batuk efektif
4.development
environment
Memberikan
lingkungan yang tenang
5.collaboration
Berikan
O2 dan obat – obatan sesuai indikasi
|
1.memudahkan
tindakan selanjutnya
2.mempermudahkan
klien untuk bernapas
3.mempermudah
mengelurkan sekret
4.agar
klien tenang
5.mengurangi
sesak dan mempercepat penyembuhan
|
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Sindrom
Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus
yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de
Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform
bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
Stevens-Johnson
Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap
sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa
eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan
kriteria klinis.Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum
eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN.
B. Saran
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan
suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias
kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala
umum berat.
Kita sebagai perawat harus mengetahui
terlebih dahulu tanda dan gejala apa itu Sindrom Steven Johnson? Dan bagaimana
penyebab penyakit ini terjadi,dan sebagai tenaga kesehatan kita harus mmberikan
penyuluhan tentang penyakit Sindrom Stephen Johnson .